Lindungi Pasar dari Ancaman Impor Baja China, IISIA Minta Ini
Sumber: Kontan.co.id | 21 Oktober 2024
The Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) menyatakan, Indonesia membutuhkan kebijakan tambahan agar para produsen baja nasional dapat bertahan sekaligus bersaing dengan produk baja murah China.
Direktur Eksekutif IISIA Widodo Setiadharmaji mengatakan, produk baja asal China terus membanjiri pasar global. Dalam catatan IISIA, ekspor produk baja China ke pasar global meningkat 39,03% dari 6,64 juta ton pada 2022 menjadi 9,23 juta ton pada 2023.
Tren ini berlanjut pada Januari-Agustus 2024 yang mana ekspor baja China naik 18,46% menjadi 7,13 juta ton, dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni 6,02 juta ton.
Lebih lanjut, impor baja China ke pasar Indonesia mengalami kenaikan 43,71% dari 2,85 juta ton pada 2022 menjadi 4,05 juta ton pada 2023. Peningkatan impor baja China juga terjadi pada Januari-Juli 2024 sebesar 33,92% menjadi 2,98 juta ton, dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 2,23 juta ton.
“Hal ini mengakibatkan produsen baja nasional sangat sulit untuk bersaing dengan produk baja murah asal China, baik di pasar domestik maupun global,” ujar dia, Jumat (18/10).
Beruntung, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang masih berlanjut dapat membuat daya saing industri baja nasional tetap terjaga. Namun, hal itu belum cukup. Diperlukan kebijakan tambahan agar produsen baja nasional dapat bertahan dari gempuran produk baja dari China.
Beberapa negara lain pun mulai menutup pasar domestik dari serbuan impor baja China melalui penerapan berbagai trade remedies. Misalnya, India yang akan menaikkan bea masuk impor dari 7,5% menjadi sekitar 10%-12% untuk melindungi pasar domestiknya dari banjir impor baja China.
Amerika Serikat juga mengenakan tarif sebesar 25% (Section 301) untuk produk baja China pada masa pemerintahan Joe Biden. Sebelumnya, AS juga pernah meningkatkan bea masuk baja impor China sebesar 25% (Section 232) ketika Donald Trump berkuasa.
Selain itu, Meksiko turut menerapkan tarif bea masuk sekitar 5%-25% untuk produk baja dari negara-negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Meksiko. Brazil juga mengerek pajak impor menjadi 25% dari sebelumnya 9%-12,5% untuk beberapa jenis produk baja.
Lebih jauh, Uni Eropa mengenakan tariff rate quota sebesar 25% serta kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) yang efektif berlaku mulai 2026. Kebijakan ini membuat produk baja dengan emisi karbon tinggi sulit bersaing di pasar Eropa.
Baru-baru ini, Kanada juga memberlakukan tarif sebesar 25% untuk produk baja impor asal China guna mencegah pengalihan pasar akibat kebijakan yang diambil mitra dagangnya.
“Bahkan, produsen baja di Jepang dan Korea juga kesulitan bersaing dengan produk baja China dan meminta perlindungan dari pemerintahnya masing-masing,” ungkap Widodo.
Kebijakan trade remedies, lanjut Widodo, sangat dibutuhkan lantaran pasar domestik berpotensi dibanjiri produk baja China yang dijual dengan harga dumping. Ini mengingat negara-negara lain mulai melindungi pasar domestiknya, sehingga China mengalihkan penjualannya ke Indonesia.
Selain pengetatan impor, produsen baja nasional juga membutuhkan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) sekaligus peningkatan pengawasan atas kepatuhan produk SNI di pasar. Hal ini penting untuk memastikan bahwa produk impor tanpa SNI tidak dapat masuk ke pasar domestik.“Di samping itu, diperlukan penyelesaian dan implementasi neraca komoditas agar persetujuan impor dapat mempertimbangkan kemampuan pasokan industri baja nasional,” tandas dia.