Industri Waswas Permintaan Baterai EV Berbasis Nikel Cuma 20% di 2030
Sumber: Bisnis.com | 20 November 2025
Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) mengungkap kekhawatiran terkait permintaan nikel yang rendah untuk baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di tengah kondisi oversupply produksi smelter.
Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah mengatakan, permintaan nikel untuk baterai sempat meningkat 10% pada 2020-2022. Namun, pertumbuhan permintaannya turun 1% per tahun sejak 2 tahun terakhir ini.
"Jadi perkiraan kami bahkan di tahun 2030 itu kebutuhan nikel untuk baterai tidak lebih dari 20% saja. Itu mungkin nantinya akan menjadi tantangan dan bahan diskusi dengan pemerintah terkait produk MHP kita ke depannya," kata Arif dalam Bisnis Indonesia Forum (BIF), Kamis (20/11/2025).
Produk nikel MHP atau mixed hydroxide precipitate merupakan bahan baku krusial dalam rantai pasok produksi baterai EV. MHP umumnya diproduksi dari hasil pengolahan nikel kadar rendah melalui teknologi high pressure acid leaching (HPAL).
Adapun, saat ini terdapat tiga smelter HPAL di Indonesia yang telah beroperasi dengan kapasitas terpasang mencapai 445.000 ton per tahun. Arif memproyeksi akan ada tambahan produk MHP sebanyak 30.000 ton dalam waktu dekat.
Dalam catatan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, smelter HPAL tumbuh ekspansif di mana saat ini terdapat 22 fasilitas pemurnian yang tengah dalam tahap konstruksi. Dengan proyek tersebut, pada 2027, akan ada tambahan mencapai 450.000 ton atau dua kali lipat dari kapasitas saat ini.
"Jadi penambahannya kurang lebih dua kali lipat sehingga di akhir tahun 2027 ini perkiraan produk MHP yang akan dihasilkan oleh Indonesia itu sekitar 940.000," tuturnya.
Sementara itu, produksi nikel dari smelter rotary kiln electric furnace (RKEF) mencapai 2,5 juta ton dari total 170-an perusahaan smelter di Indonesia.
Di sisi lain, industri nikel juga menghadapi tantangan di mana adanya ketergantungan pada sektor stainless steel sebagai penyerap utama nikel. Terlebih, terdapat persaingan dengan teknologi baterai non-nikel atau lithium ferro-phosphate (LFP). "Kemudian pertumbuhan ekonomi juga perang di Timur Tengah, kemudian Rusia-Ukraina dan lain sebagainya mengakibatkan permintaan nikel dunia menurun hingga terjadi oversupply dan tekanan harga," pungkasnya.







